Headlines News :
Home » » Pendidikan di Daerah Perbatasan, Sebatas Angan angan

Pendidikan di Daerah Perbatasan, Sebatas Angan angan

Written By Unknown on Saturday, 17 August 2013 | 08:40

Kita bersukur para TKI kita di Malaysia dibalik berbagai keterbatasan yang mereka rasakan, tetapi mereka telah mendapatkan upah yang cukup layak bagi kehidupan. Terlebih lagi pekerjaan seperti itu, tidak akan mereka dapatkan di negaranya, di Indonesia. Namun demikian ada pula konsekwensi yang sangat berat, serta potensil akan menghasilkan generasi muda TKI yang lebih rendah lagi kualitasnya. Saat ini ada sekitar 59.000 anak-anak tenaga kerja Indonesia di Malaysia yang masuk dalam usia sekolah belum terlayani pendidikan sehingga terancam buta huruf. Hingga saat ini, penanganan pendidikan anak-anak TKI di Malaysia yang berusia 4-16 tahun dari Pemerintah Indonesia belum optimal.
”Anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) itu umumnya di ladang sawit. Dari data yang  terhimpun, baru sekitar 14.000 anak-anak TKI di tingkat SD dan SMP yang bisa dilayani pemerintah,” kata Ahmad Rizali, Direktur Program Pendidikan Pertamina Foundation di Jakarta, akhir pekan lalu. Idealnya pendidikan anak-anak TKI ini bisa juga disinergikan dengan pendidikan anak-anak di perbatasan RI- Malaysia, khususnya kalau konsep pendidikan terpadu ala “boarding school” bisa terealisir.
Pendidikan di Perbatasan
Di perbatasan Indonesia-Malaysia, ketimpangan pendidikan tampak nyata. Di Malaysia, sekolah-sekolah dibangun dengan baik, terkadang dilengkapi asrama. Guru-guru yang dikirim adalah guru muda yang cakap mengajar dan diberi gaji yang baik. Dalam pertemuan dengan guru-guru se-Indonesia yang berkemah di wilayah perbatasan pada penghujung 2010 terungkap di Desa Suruh Tembawang, Kabupaten Entikong, Kalimantan Barat (Kalbar), ada satu guru harus mengajar 111 siswa SD.
Desa itu berpenduduk 2.795 orang. Ada 963 orang buta huruf, tidak tamat SD (689), tamat SD (917), SLTP (113), SLTA (102), diploma (10), sarjana (1). Budi Suri, guru SMPN 2 Suruh Tembawang, berkisah, 73 siswa di sekolah itu belajar teori teknologi informasi dan komunikasi. Namun, siswa tidak pernah melihat komputer. Aliran listrik pun belum dinikmati warga. Sekolah ini cuma punya satu peta Kalbar dan bola dunia. Inilah wajah daerah perbatasan. Tak heran jika Indonesia seringkali diremehkan negara tetangga yang melesat maju.
Winsulangi Salindeho, Bupati Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, yang berbatasan dengan Filipina, lain lagi; dia menuturkan, pendidikan dasar yang jadi kewajiban negara tak terpenuhi. ”Ada pulau-pulau yang cuma punya SD. Anak-anak usia wajib belajar di daerah itu tidak bisa melanjutkan ke SMP. Belum lagi jumlah guru kurang,” kata Winsulangi. Kondisi pendidikan yang terbatas juga dirasakan anak-anak sekolah di Distrik Sota, Merauke, Papua. Di daerah yang berbatasan dengan Papua Niugini ini, listrik sering padam dan tak ada sinyal telepon seluler.
Di perbatasan RI-PNG lain lagi. Para siswa SMPN 11 Distrik Sota tidak punya ruang laboratorium. Menggunakan komputer masih langka karena hanya ada dua komputer yang berfungsi. Itu pun sulit dioperasikan karena listrik tidak memadai. Hal serupa juga terlihat di SMKN 1 Sota. Para siswa banyak berasal dari daerah yang jauh. Mereka tinggal di rumah guru dan asrama. Pendidikan SMK memang gratis, juga asrama. Namun, semua serba terbatas. Untuk biaya makan 50 orang yang tinggal di asrama hanya ada dana Rp 100 juta per tahun. Padahal idealnya Rp 300 juta per tahun.
Di SMPN 1 Atap Wasur, anak-anak tinggal tersebar di rumah penduduk, selain di asrama. Sekolah memakai dana bantuan operasional sekolah (BOS), tetapi pencairannya sering terlambat. Meskipun kondisi sekolah terbatas, pendidikan di Sota dilirik anak-anak Papua Niugini. Dari informasi yang diperoleh, pendidikan di Sota masih lebih baik dibandingkan di wilayah perbatasan Papua Niugini.
Konsep Akan  Yang Angan Angan
Tapi bagi para petinggi pendidikan Indonesia, yang berkembang malah konsep pendidikan anagan-angan. Artinya mereka hanya sekedar berwacana, sudah itu merasa persoalan pendidikan sudah selesai. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh misalnya, dalam beberapa kesempatan mengunjungi daerah perbatasan selalu berbusa-busa mensosialisasikan pendidikan angan-angan ini. Komitmen menguatkan pendidikan di daerah perbatasan pun diucapkan. Secercah harapan untuk memperbaiki kondisi di daerah perbatasan mulai dan selalu terlihat. Daerah perbatasan seolah-oleh mulai diperlakukan sebagai halaman muka bangsa.
Penguatan pendidikan di daerah perbatasan dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional dengan menegerikan sejumlah perguruan tinggi milik pemerintah daerah dan swasta sejak akhir 2010. Hal itu dilakukan, antara lain, terhadap Universitas Musamus Merauke, Universitas Borneo di Tarakan, Kalimantan Timur, dan Universitas Bangka Belitung. Menyusul Universitas Maritim Raja Ali Haji di Kepulauan Riau.
Untuk politeknik negeri baru di wilayah perbatasan, yakni Politeknik Bangka Belitung, Politeknik Batam, serta Politeknik Negeri Nusa Utara di Kepulauan Sangihe. Dengan status sebagai perguruan tinggi negeri (PTN), pemerintah lebih mudah mengintervensi kampus-kampus itu. ”Di setiap daerah perbatasan harus ada PTN supaya anak- anak bangsa tidak pergi ke negeri tetangga. Kita harus menciptakan pusat keunggulan dengan memperkuat pendidikan,” kata Nuh.
Dalam kebijakan Kemdiknas, penguatan pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2012 untuk daerah perbatasan adalah membangun sekolah terpadu untuk menyelesaikan persoalan akses dan daya tampung. Sekolah terpadu adalah sekolah yang pembangunannya meliputi bangunan sekolah, asrama siswa, rumah guru, dan sarana lain, untuk wilayah perbatasan dan terpencil.
Rancangan sekolah terpadu di daerah perbatasan untuk tingkat desa jenjang SD kelas 1-3 atau Paket A dan B dalam satu kompleks dibangun sekolah, taman bacaan, program gizi, asrama penitipan anak, dan kelompok bermain persekolahan. Di tingkat kecamatan, mulai dari SD kelas 4-6, SMP kelas 7-9, dibangun sekolah satu atap dengan fasilitas olahraga, perumahan guru, kebun sekolah, dan asrama siswa.
Di Kepulauan Sangihe, kata Winsulangi, dibutuhkan SD-SMP satu atap untuk pulau-pulau yang kini hanya ada SD. Untuk jenjang SMA, perlu sekolah berasrama supaya siswa tidak terkendala jarak tempuh. Hetifah Sjaifudian, anggota Komisi X DPR, mendukung jika pemerintah menguatkan pendidikan di daerah perbatasan. Namun, kebijakan pemerintah haruslah menyesuaikan kondisi dan kebutuhan tiap daerah.
Secara umum, daerah perbatasan sangat kekurangan guru. Guru-guru yang berpendidikan tinggi umumnya pendatang dan kurang memahami budaya setempat. Guru-guru direkrut dari lulusan SPG dan tenaga kontrak lulusan SMA/Paket C. Mereka mengajar dengan honor jauh dari standar upah minimum regional. ”Perlu ada pembinaan dan dukungan khusus agar guru-guru meningkat kemampuan dan motivasinya. Fasilitas seperti wisma atau tempat tinggal guru di lokasi sekolah sangat diperlukan,”.
Kita berharap pemerintah dapat bekerja lebih cepat lagi dan mau berbuat nyata. Misalnya soal anak-anak TKI. Menurut Ahmad, Pertamina Foundation bekerja sama dengan Ikatan Guru Indonesia (IGI) hendak membantu penanganan pendidikan anak-anak TKI di Malaysia. Selain menyalurkan buku-buku pelajaran dan alat bantu belajar jarak jauh, kerja sama ini juga meliputi pengiriman guru ke Malaysia.
Mengutip data Konsulat Jenderal RI di Kota Kinabalu, Ahmad menyebutkan, anak-anak TKI buta huruf di Sabah, Malaysia, yang sudah tertangani 14.032 orang. Mereka terdiri dari 423 anak SD di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) dan 4.548 anak di 42 di community learning center (CLC), 74 anak di SMP SIKK dan 1.201 anak di 35 CLC SMP terbuka, serta 7.796 anak di Pusat Pembelajaran LSM Humana Borneo Child Aid (kerja sama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 2006).
Masih ada sekitar 40.000 anak yang belum terurus dan buta huruf di Sabah. Belum ditambah yang di Sarawak dan Semenanjung, jumlahnya diperkirakan 59.000 anak. Pertanyaannya apakah konsep pendidikan ber asrama yang selama ini selalu di angan-angankan oleh Mendiknas itu tidak bisa di mulai di perbatasan RI-Malaysia dengan tujuan menjangkau anak-anak perbatasan dan anak-anak TKI kita itu ? Kesan kita selama ini kalau kita bicara konsep maka para petinggi pendidikan kita sangat ahli untuk mengurainya. Tetapi begitu kita lihat di lapangan. Sama sekali tidak atau belum ada perubahan. Hal hal seperti itulah yang membuat kita jadi lebih prihatin. (Sumber : Kompas;antara)
Share this post :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. adeitu prast - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger