Nafsu dunia dihiasi dengan tercapainya puncak kenikmatan hidup dan tiada kata usai, keinginan lagi dan lagi demi kepuasan menjadi target dari waktu ke waktu, sejujurnya benarkah kepuasan dunia ini menjanjikan puncak kenikmatan. Bentuk kepuasan dunia sangat cepat dan mudah hilang, kemauan untuk mengulangi lagi menjadi nyanyian merdu penuh harapan. Sejatinya sifat dunia memang sementara tiada kenikmatan yang mampu bertahan lama dan pasti habis.
Budaya malu adalah bentuk penyeimbang dari gejolak nafsu yang tak pernah puas. Ketika kita merasa malu maka akan membatasi liarnya gejolak keinginan sebab ada hal yang menjadi pertimbangan yaitu demi menjaga harga diri dan martabat manusia. Jika manusia sudah tidak punya rasa malu maka budaya hedonisme dan cinta dunia akan mendominasi sehingga membuat manusia mabuk dunia. Tiada lagi percaya akherat apalagi mempersiapkannya, segala perbuatan hanya dihitung dengan keuntungan dunia, kerja kerasnya hanya berlogo nikmat dunia.
Menyuburkan tali silaturahmi antar sesama membawa jiwa kehidupan. Kita menjadi tahu tentang seluk beluk harmoni kehidupan manusia. Manusia sebagai mahluk sosial sangat berbeda dengan mahluk lainnya baik itu jin dan binatang. Diciptakannya manusia berpasang-pasang, berbeda suku dan warna kulit tidak lain agar kita benar benar memahami bahwa silaturahmi menjadi jalan saling mengenal dan menumbuhkan pintu rezeki dan rahmat yang sangat luas. Akan ada aliran hidup baru sehingga tidak membuat kita terkungkung dengan nafsu diri sendiri, kita menjadi memahami makna menghargai dan dihargai. Budaya saling menolong dan menghormati menjadi kebutuhan yang saling melengkapi.
Post a Comment